Kekhawatiran tersebut, karena adanya 11 makam atau lebih yang dikaromahkan, di Kampung Leuwih Manjing, atau disebut juga Wali Niis, banyak didatangi para penziarah dari dalam maupun luar Daerah.
Menurut Abah Sukarman juru kunci makam karomah sekaligus keturunannya, kalau memang dilihat pada sejarah, disini makam para tokoh-tokoh pejuang penyebaran agama islam serta para pejuang pembela tanah air Indonesia sewaktu melawan penjajah.
“Ya menurut sejarah yang abah tahu, makam yang ada disini adalah para tokoh penyebar agama Islam, dan para pejuang yang mempertahankan negara Indonesia saat dijajah oleh Belanda, sampai Indonesia merdeka. Para tokoh disini juga ada kaitan dengan Galuh Pakuan Pajajaran, dan Cirebon,” ucap abah Sukarman kepada wartawan.(8/11/2023)
Selanjutnya, abah Sukarman juga menyampaikan, budaya adat masyarakat di sini masih terikat pada pada leluhur, dan warga disini juga masih bergantung pada pertanian.
“Memang warga masyarakat di sini masih memakai budaya adat leluhur sampai saat ini, karena adat leluhur itu bisa menjadi adat yang turun temurun kepada anak cucu sampai penurus keturunan yang ada sekarang. Dan masyarakat disini juga kehidupannya rata-rata petani,” ungkapnya.
Mengenai Kampung yang sudah terkenal namanya Kampung Leuwi anjing, abah Sukarman menjelaskan, memang orang sering mensalah artikan atau di pelesetkan nama Kampung di Desa Kutamekar ini.
“Nama asli dari Kampung ini adalah, Kampung Leuwih manjing, atau wali niis, bukan Kampung Leuwi anjing, yang sudah terkenal sampai saat ini,” jelas Abah Sukarman.
Adanya penolakan oleh warga masyarakat Desa Kutamekar terkait pembangunan bendungan, Sukarman memaparkan, warga tidak menolak adanya bendungan, yang sudah direncanakan oleh pemerintah. Tapi tidak menggangu lahan pertanian dan makam karomah yang ada tersebut.
“Justru itu bukan menolak adanya bendungan, tapi menolak AS bendungan, supaya lokasi ini kususnya masyarakat Cikutamekar tanah-tanah leluhur yang ada makam karomah ini jangan sampai dipindahkan, abah juga amanat dari pada leluhur agar tanah ini jangan diganggu,” pesannya.
Sementara Uteng Kepala Desa Cikutamekar memaparkan, makam-makam karomah yang berada di Kampung Leuwih manjing ini jaraknya tidak begitu jauh, semua itu dikelilingi dengan sawah-sawah warga.
“Makam ini terletak di 5 titik bidang yang jaraknya 500 sampai 1000 meter antara satu bidang ke bidang lain dan itu terletak disebalah barat Kampung Wali niis yang berdekatan dengan kali Cibeet sekitar 200 meter. Dan disitu juga termasuk lahan pertanian, yang setiap tahunnya tiga kali panen,” tutur Uteng.
Lebih lanjut, Ia juga menjelaskan, sebenarnya dari sosialisasi pertama di tahun 2018 masyrakat sudah menyampaikan aspirasinya melalui kepala Desa, maupun kelompok masyarakat atau perorangan. Tapi itu seolah-olah tidak di indahkan, bahkan secara tertulis pun sudah mengajukan permohonan agar AS bendungan itu dialihkan ke tempat yang lebih tidak menggangu makam dan lahan pertanian.
“Mungkin masyarakat kemarin menggelar aksi protes terkait pembangunan bendungan tapi seolah-olah tidak di indahkan, bahkan secara tertulis pun sudah mengajukan permohonan agar AS bendungan itu dialihkan. Akibat aspirasinya tidak ditanggapi, sedang itu sudah berulang kali masyarakat menyampaikan,” ucapnya.
“Kalau sampai ini terealisasikan yang pertama, delapan puluh lima persen pertanian yang setiap harinya warga bertani, yang dikhawatirkan kalau bendungan ini sampai terlelisasi masyarakat akan kehilangan pertanian soalnya itu sebagai mata pencaharian warga,” sambungnya.
Soal makam leluhur di Kampung Leuwih manjing ini yang sangat sederhana, Uteng juga menuturkan, ini sudah amanat dari para leluhur, agar makam ini harus sederhana.
“Banyak yang bilang kenapa makam leluhur itu biasa-biasa saja saja pembangunannya, jadi leluhur saya mengajarkan tentang kesederhanaan contoh bukti kesederhanaan ini ia mengajarkan para turunannya agar hidup sederhana,” jelasnya.
“Makam disini tidak mau di jadikan sebagai wisata religi, bahkan di tahun 90 an waktu bapak saya sebagai pengurus makam ini, ia pernah kedatangan dari Dinas Pariwisata, dan Cagar budaya supaya tercatat tapi ini tidak mau, kenapa tidak mau, menurut leluhur kalau tempat ini dijadikan wisata, jadi yang datang itu bukan hanya yang jiarah saja, tapi dijadikan tempat wisata, otomatis kalau tempat penziarah itu rame maksiat juga akan meningkat,” ucap Uteng kembali.
“pertanyaan saya apakah mungkin doa kita dijabah posisi tempatnya menjadi kurang baik menurut leluhur ada waktu-waktu tertentu yang dijabah, buktinya banyak pengunjung yang datang dari mana-mana seperti luar kabupaten, atau dari luar Jawa,” sambungnya kembali.
Menurut Uteng kalau cibeet ini mau dibendung, yang paling tepat berada dihulu , karena ada cerita para leluhur kali Cibeet akan dibendung di hulu.
“Harapan saya kalau memang ini bicara untuk masa depan anak cucu kita, bendungan ini harus dilaksanakan, tapi harus ditempat yang pas untuk segala-galanya, yang berarti tidak mengganggu lahan pertanian dan makam-makam karomah yang ada disini,” harapnya.
“Kalau memang pemerintah memaksakan bendungan sesuai awal, ditakutkan ada musibah yang melanda kita semua, musih besar yang tidak diduga, kenapa kita khawatir kesitu, kita semua punya leluhur, yang namanya melawan orang tua tentunya tidak boleh, kita pastinya akan dilaknat semua berkeyakinan seprti itu,” pungkasnya. (Atchan/DN)